Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Akhir Certia Langit

Perjalanan tentang Langit, Bulan, dan Matahari sudah berada di penghujung cerita. Sudah cukup kebersamaan mereka selama ini. Mereka tentu akan tetap bertemu tapi cerita sudah selesai sampai hari ini. Kini, Langit punya hidupnya sendiri. Ia akan pergi dan mulai kehidupan barunya bersama Langit lain. Perasaan baru telah memenuhi pikirannya. Baginya, sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal untuk Bulan dan Matahari.

Singkat Saja

Katakan saja saya sebagai kutu loncat. Loncat ke sana ke mari dengan cepat. Terus bergerak tapi dengan rasa yang sama.

Arti Menunggu

Menunggu selalu saja berteman dengan bersabar. Keberadaan keduanya seperti sebuah keharusan yang mengikat satu sama lain. Bersabar menjadi syarat untuk tetap menunggu. Sedangkan ketidaksabaran mampu menghentikan keberlanjutan dari menunggu itu sendiri. Katanya bersabar ada batasnya. Mungkin iya, terutama dalam konteks menunggu. Perlu ada batas yang mampu menyudahi masa menunggu atau yang paling sederhana hanya mampu merusak rasa bersabar. Pada dasarnya melampaui batas hanya akan berakibat dua hal itu, berhenti atau terus menunggu. Menunggu mungkin menyebalkan bahkan dapat membunuh harapan secara perlahan. Padahal menunggu hanya bergantung pada sebuah harapan. Masalahnya kepada siapa harapan itu digantungkan. Menjadi buruk hasilnya bila harapan itu digantungkan pada selain Dia Sang Maha Kuasa. Harapan yang salah bergantung akan mudah terlepas dan hilang perlahan. Jika ia hilang, kesabaran pun mulai berakhir. Menuju pintu keluar dan pergi jauh dari ruang tunggu. Maka gantunglah harapa...

Have you done this before?

Bawa perasaan, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan ini. Toh kita terlahir sebagai manusia yang memiliki rangkaian proses yang mampu memunculkan perasaan. Melihat, mendengar, berpikir, kemudian muncullah perasaan. Secara normal semua itu bisa terjadi pada setiap manusia. Pertanyaannya, secepat apa proses itu hingga sampai ke hati? Mata kadang berkedip terlalu lama dan menggaburkan pandangan. Telinga kadang tertutup dan tuli begitu saja. Lautan pikiran kadang melenyapkan hal-hal yang dia anggap tidak penting. Lalu segala bentuk yang ada dihadapan kita pun pergi begitu saja. Banyak hal yang tidak sampai ke hati apalagi membiarkan organ tubuh bereaksi. Jika pun proses itu lancar dan bergerak cepat, belum tentu sikap mau berekspresi. Ada saatnya dia tetap diam atau hanya memberikan kode. Sebenarnya mana yang terbaik, mana yang sebaiknya dilakukan? Atau mungkin, menunggu adalah hal terbaik? Ada saatnya kita harus begitu sensitif, sebut saja peka. Ada saatnya kita harus penuh perasaa...

Belajar

Gambar
"Lagi sibuk, gak?" Entah sejak kapan pertanyaan itu sering terlempar ke telinga. Sibuk mungkin sudah biasa dirasakan sejak masih SMA dulu. Hingga kata gabut tidak bisa diterima dengan baik. Semua perkerjaan yang diterima haruslah dikerjakan. Selelah, setidak ada waktunya, dan semales apapun yang namanya kerjaan ya harus dikerjain. Kadang lupa kalau tubuh punya hak yang namanya istirahat. Kebiasaan 'yes girl' harus perlahan diubah. Zaman TPB yang katanya gabut pun malah diisi dengan oraganisasi tingkat kampus. Untungnya karena gabut jadi bisa banyak 'main' di sana. Beralih ke tingkat dua, sebuah 'kegilaan' itu pun memuncak. Gila dalam arti kata, tugas yang menumpuk dengan field trip ke mana-mana. Awal itu makin parah dengan jadi PJ acara yang malah berasa jadi ketuplak. Makin pusing dengan iseng ikut kepanitian di fakultas. Makin tidak karuan setelah mengiyakan suatu kepanitiaan. Rasanya seperti satu otak yang harus bekerja tiga kali lebih cepa...

Perputaran Hidup Bulan Oktober

Diantara hidupku yang berjalan cepat ada mereka yang bergerak perlahan. Duniaku seperti berhenti sejenak meninggalkan segala kelelah di kanan kiri pundak. Aku sadar, ada saat-saat perlu berjalan perlahan atau berhenti sejenak sekedar menundukkan kepala. Melihat kaki yang masih berpijak di bumi ini. Hari-hari ini terasa memusingkan. Ingin segera pindah dari sini ke sana melompati kesedihan dan tenggelam di kebahagiaan semu. Bahagia itu menjadi semu lantaran tanggung jawab masih menggelantung indah pada setiap ruas kehidupan. Mungkinkah berjalan sendiri membuat lelah itu berlipat ganda? Hari terus berganti tapi segala usaha ini belum juga selesai. Aku rindu tidur nyenyak dengan penuh ketenangan pikiran. Aku ingin menikmati hidup tanpa tiba-tiba kehilangan fokus mata. Semua ini tidak juga usai. Seperti banyak yang mengetuk pintu tapi prumah itu belum benar-benar menjadi milikku. Lalu bagaimana segala kebutuhan itu bisa aku turuti? Menjual dengan damai rumah cantik yang belum sepenuhnya...

2 Oktober 1994

Hari lahir bukanlah sesuatu yang begitu spesial. Berkurangnya umur harusnya menjadi keadaan yang tidak cukup membahagiakan. Kenyataannya, sebagian dari kita menyukai momen ini. Momen untuk sekali seumur hidup ada perayaan kecil yang khusus diperuntukan dia yang berulang tahun. Bagi saya, hari lahir sendiri begitu penting. Hari ketika saya dilahirkan dan waktu untuk pertama kalinya utuh menjadi seorang anak manusia. Jika dipikir ulang, sebenarnya tidak pengaruhnya datangnya hari lahir itu. Tapi, sekali lagi, kita selalu suka perayaan sekecil apapun itu selama dikhususkan untuk diri sendiri. Selamat hari lahir. Benar-benar ingin pulang dan makan nasi kuning buatan Ibu seperti kebiasaan bertahun-tahun lalu.

Pindah ke Rumah Hijau

Hay, ga mencoba untuk melankolis apalagi puitis. Hanya... ingin bercerita tentang panjangnya hari ini. Malam ini pintu itu tidak akan terbuka, cahaya lampu pun akan mati, dan lagu-lagu baru dari Korea yang terus berulang-ulang tidak lagi terdengar. Dia si pemilik bilik tidak akan tertidur lelap di tempatnya. Malam ini hingga beberapa malam lain, dia akan berada di tempat lain. Mengistirahatkan bagian tubuh yang terbentur hari ini. Selamat istirahat, segera kembali ke bilikmu yang berseberangan dengan bilikku. Untuk kamu yang terbalut baju hijau yang sedang pindah ke rumah hijau.

Tidurnya Si Potensi

Adakalanya rasa ingin menyerah melampaui seluruh perasaan. Sayangnya, satu-satunya pilihan hanyalah maju ke depan. Menghadapi apa pun yang berada di hadapan. Segala rintangan mau tidak mau harus dilalui, saat itulah tanpa sadar batas kemampuan kita dapat terlampaui. Ada sebuah pengalaman menarik ketika body rafting di Curug Naga. Ketika pilihan yang dimiliki peserta hanyalah melompat ke sungai, setakut apa pun mereka setiap orang pasti akan melompat. Beda cerita ketika ada pilihan lain, peserta dengan fobia ketinggian tentu menolak mentah-mentah tawaran untuk meloncat. Sama halnya dengan ketakutan masuk ke hutan. Sayangnya tidak ada pilihan lain karena saya termasuk mahasiswa kehutanan. Ke luar masuk hutan, pergi ke sana ke mari, harusnya menjadi hal biasa. Faktor "kepepet" nyatanya mampu membantu kita untuk melakukan hal luar biasa. Suatu tindakan yang mungkin kita sendiri pun tidak pernah berpikir mampu melakukannya. Sebenarnya kita punya potensi besar yang terpendam jau...

Cerita tentang Si Ubi Manis

Ubi mulai menutup hatinya. Berbicara dengan nada standar dan kadang sedikit emosi. Ia marah dengan hal kecil yang selalu mengusik dirinya. Ubi memang terlihat kusam meski manis di bagian dalam. Sayangnya, ia belum benar-benar menjadi demikian. Manis dan legitnya Ubi belum juga terasa. Katanya, ia harus melewati masa sulit sebelum keindahan itu hadir. Panas pun mulai datang, menjalar ke setiap bagian tubuhnya. Kerasnya Ubi perlahan berubah, menghadirkan asap yang keluar dengan aroma manis yang menyebar. Ketika itulah kita tahu, manisnya Ubi sudah dapat  dirasakan. Ia telah matang. Dari keras menjadi lembut, dari hambar menjadi manis. Sebuah perubahan yang hadir dari pemanasan maksimal. Setiap kita mampu berubah dari gelap menjadi terang, dari buruk menjadi baik. Dua sisi yang berbeda ini memiliki jembatan panjang yang harus dilewati jika kita ingin menyeberang. Jembatan tersebut biasa disebut proses.

Hujan

Hujan datang setelah Awan berkumpul dan ketika Langit berubah menjadi gelap. Hujan seperti menyudahi kepenatan Langit yang tidak juga berujung. Awalnya kita pikir Awan mencari masalah dengan menumpuk menutupi Langit. Kenyataannya, ia membantu Langit meluapkan sedihnya. Hujan adalah cerita lain tentang tangisan, keindahan, hingga menjadi bahagia. Katanya ia anugerah, berkah, bagi seluruh alam. Hujan menjadi kisah tersendiri yang selalu ditunggu sayangnya lebih sering dicaci. Bagi Langit, Hujan menjadi sahabat yang paling diharapkan kehadirannya. Ia selalu saja menunggu kapan Hujan akan datang.

...

Langit tidak mampu berkata-kata. Waktunya seperti terhenti dan begitu saja meninggalkan banyak hal. Langit ingin sepi tapi sayangnya tidak juga demikian. Langit... sudah tidak mampu bersandiwara lagi.

Cara-Nya Mengajarkan Kita

Oh.. begini toh rasanya dicintai . Begini ya rasanya merindu. Jauh, mengajarkan saya dua perasaan tersebut. Perasaan yang hanya muncul ketika ada hal yang hilang dari keseharian kita. Ini bukan sebuah kegalauan atau curhat yang terlalu berlebihan. Hanya sebuah perasaan syukur yang selalu saja terucap. Berkali-kali saya bersyukur diizinkan merasakan perasaan tersebut. Allah membuat perasaan yang selalu saja terbenam itu muncul. Meninggalkan rasa bahagia dianugerahi kehidupan penuh kecukupan hati. Cinta yang saya terima adalah kecukupan luar biasa yang mampu menentramkan. Allah selalu mengajarkan kita dengan caranya. Hidup jauh misalnya, ternyata menjadi cara ampuh membuat saya begitu menghargai arti sebuah perhatian, rindu, cinta, dan keluarga. Merasakan kesendirian di dalam ruang sempit bernama kosan. Menyibukkan diri demi melupakan kerinduan. Kadang kita tidak pernah sadar sesuatu berarti hingga ia menjauh.

Langit (4)

Langit seperti tidak mau mendengar apapun. Bintang memang sudah banyak membantu tapi tidak begitu saja merubah sesuatu. Matahari kembali bercerita dan kini mengajak Awan. Entahlah mengapa harus Awan yang hadir di sini. Mungkin untuk menjadi perantara lain, pikir Langit demikian. Awalnya ia tidak mau masuk ke dalam cerita bercerita ini. Sayangnya, pembicaraan Awan dan Matahari sangat bersangkut paut dengan Langit. Cerita mengalir, memulai kisah dari hulu ke hilir tapi tidak mampu mencapai lautan luas. Bulan belum juga angkat bicara, inilah yang membuat percakapan mereka tidak juga berujung. Sekali lagi, pikiran Langit memang benar. Mereka perlu duduk manis meski bercerita terlalu sadis. "Sudahlah," pada akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulut Awan. Ini memang tidak sederhana sehingga perlu disederhanakan. Meluruskan pikiran agar mampu berjalan lebih baik lagi. Hingga menunggu merupakan solusi terbaik yang bisa dilakukan Matahari.

Langit (3)

Malam mulai datang. Bulan tetap diam seperti tidak pernah mendengar perkataan Langit. Mungkin, ia butuh istirahat dan berpikir. Sambil termenung, Langit melihat ke sekeliling. Ada cahaya kecil yang menghiasi malam. "Hai, Langit! Apa kabar?" Tanya Bintang dengan suara riang. Sudah lama keduanya tidak saling menyapa. Hanya bertukar pandang dan senyum yang tersimpul. Mereka memang tidak dekat, tapi tidak ada salahnya bila Langit meminta saran dari Bintang. Sosok menyenangkan dan punya banyak cerita untuk dikisahkan. "Tidak begitu baik. Bagaimana denganmu?" Tanya Langit berharap Bintang mampu memahami perasaannya. Benar saja, Bintang tidak menanyakan banyak hal lagi. Ia pun mulai bercerita dengan kesimpulan yang mampu menentramkan Langit. "Tahukah kamu? Ada sebuah cerita di Galaksi lain. Dipenuhi Matahari, Bulan, Langit, dan Manusia. Mereka selalu punya masalah, tapi selalu ada solusi." Bintang memulai dongeng indahnya tentang Galaksi lain yang tidak pernah...

Langit (2)

Kini giliran Langit yang bercerita. Menyampaikan kata seringkas mungkin berharap Bulan dapat memahami maksudnya. Ia bertanya-tanya, akankah Matahari dapat mendukungnya? Akankah Bulan mau berbicara? Langit merasa serba salah. Kadang ia merasa Matahari ingin seperti Langit yang lebih sering bertemu Bulan. Kadang Bulan hanya bisa diam karena Langit selalu punya cerita seru bersama Matahari. Langit sangat ingin pergi, kalau bisa menghilang sejenak dari keduanya. Sudah lelah rupanya ia. Muak mendengar cerita sana-sini, termasuk Angkasa yang pernah menyampaikan pesan dari Bulan. Benarkah Langit salah berpijak? Tidak, tidak ada yang salah berpijak. Ini sudah ditakdirkan bahkan sebelum mereka bertemu. "Wahai Angkasa yang menjadi perantara pertemuan, haruskah aku berbagi kisah?" Kata Langit meminta belas kasih pada Angkasa. Sayangnya ia sudah semakin jauh saja. Langit sangat ingin bertemu dan berbicara bersama kedua sahabatnya itu. Duduk dengan tenang bercerita dari hulu ke hilir. ...

Perjalanan Episode 1: Sesuatu dari Cikepuh

Gambar
“Wah, pantai!” teriakku sambil berlari menuju bibir pantai. “Jadi ingat Cikepuh,” kata Indha sambil tersenyum tipis menoleh kepadaku.             Di Kawasan Konservasi Pelestarian Penyu, Pangumbahan, Sukabumi ini, aku teringat dengan Suaka Margasatwa Cikepuh—sebuah kawasan konservasi yang juga terletak di Sukabumi. Pergi ke Suaka Margasatwa (SM) tersebut merupakan salah satu pengalaman yang paling tidak terlupakan. Bagaimana tidak? Selama 10 hari, hidup di lapang dengan segala keterbatasan dan jauh dari kenyamanan menjadi sesuatu yang asing, namun ... tidak terlupakan. Hari ini di tempat ini, aku ingin membagi pengalaman tidak terlupakan itu. *** 18 Januari 2015             Pagi hari, aku beranjak dari Jakarta ke Bogor dengan berat hati. Sebelumnya tidak pernah ada keinginan untuk mengikuti kegiatan ini, Rafflesia (Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata di Indones...