Perjalanan Episode 1: Sesuatu dari Cikepuh
“Wah,
pantai!” teriakku sambil berlari menuju bibir pantai.
“Jadi
ingat Cikepuh,” kata Indha sambil tersenyum tipis menoleh kepadaku.
Di Kawasan Konservasi Pelestarian
Penyu, Pangumbahan, Sukabumi ini, aku teringat dengan Suaka Margasatwa Cikepuh—sebuah
kawasan konservasi yang juga terletak di Sukabumi. Pergi ke Suaka Margasatwa
(SM) tersebut merupakan salah satu pengalaman yang paling tidak terlupakan.
Bagaimana tidak? Selama 10 hari, hidup di lapang dengan segala keterbatasan dan
jauh dari kenyamanan menjadi sesuatu yang asing, namun ... tidak terlupakan.
Hari
ini di tempat ini, aku ingin membagi pengalaman tidak terlupakan itu.
***
18 Januari 2015
Pagi hari, aku beranjak dari Jakarta
ke Bogor dengan berat hati. Sebelumnya tidak pernah ada keinginan untuk
mengikuti kegiatan ini, Rafflesia (Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata di
Indonesia). Sebuah program tahunan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa
Konservasi, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Ekspedisi ini dilakukan
di kawasan konservasi di Sukabumi, selama 10 hari. Cukup singkat memang waktu
10 hari itu untuk ukuran “ekspedisi”, namun terbilang lama bagi seseorang yang
tidak terbiasa hidup di lapang. Aku merupakan salah satu dari orang yang tidak terbiasa
itu. Tidak terbiasa menyusuri hutan apalagi hidup berhari-hari dengannya.
Bersama
79 mahasiswa konservasi lainnya, aku berangkat dari Bogor menuju Suaka
Margasatwa Cikepuh, Sukabumi. Kami berangkat pukul 21.00 dengan tiga buah
tronton. Perbincang-bincang menjadi satu-satunya hiburan bagi kami untuk
memecahkan kebosanan selama perjalanan. Perlahan-lahan tronton yang tadinya
ramai dengan segala perbincangan mulai terasa sepi. Malam semakin larut, perjalanan
pun belum juga usai. Jalan yang tadinya terasa lancar mulai terasa
berkelok-kelok dan dipenuhi dengan bebatuan.
***
19 Januari 2015
Tepat
pukul 05.00, kami sampai di resort SM Cikepuh. Beristirahat sejenak dilanjutkan
dengan sholat, beberes diri, dan sarapan. Sekitar pukul 08.00, kami dikumpulkan
untuk dilakukan pelepasan dan diberikan pengarahan. Kami dibagi menjadi dua
jalur: jalur Citerem dan Cikepuh. Dari setiap jalur dibagi lagi menjadi tujuh
kelompok: kelompok pengamatan mamalia, burung, herpetofauna, kupu-kupu, flora, ekowisata,
dan fotografi. Aku mendapatkan jalur Citerem yang terbilang lebih dekat dan
medannya yang tidak seberat jalur Cikepuh. Sementara pada kelompok pemerhati
satwa, aku memilih untuk ikut di kelompok burung.
Hujan
mulai turun tepat setelah pengarahan selesai. Tas-tas carier kami sudah
berderet rapi di depan resort. Segala keperluan pribadi dimasukkan ke dalam
carier, sedangkan keperluan kelompok diletakkan ke dalam box besar dan dibawa
oleh porter. Setiap peserta akan membawa tas cariernya masing-masing. Tas
carier 60 literku diselimuti dengan rain cover berwarna hitam, sedangkan diriku
sendiri menggunakan jas hujan berwarna abu-abu.
Perjalanan
menuju Citerem dengan berjalan kaki memakan waktu kurang lebih empat jam. Memang
lebih cepat dari pada jalur Cikepuh yang memakan waktu sembilan jam. Tas carier
ditambah jalan yang licin karena hujan, semakin memberatkan perjalanan. Untungnya,
jalan yang kami lalui ini cukup rata.
Kanan
kiri jalan dipenuhi oleh perkebunan kelapa dan sesekali diselingi oleh tumbuhan
palawija. Sejauh mata memandang, hanya pohon kelapa yang dapat kami lihat,
tentunya palawija yang lain. Suara ombak yang terdengar sayup-sayup menggambarkan
bahwa ada lautan yang tidak jauh dari kami, namun tidak terlihat. Setelah dua
jam perjalanan, kami pun berhenti untuk beristirahat.
Perkebunan
kelapa ini sudah selesai kami lalui. Selanjutnya, perjalanan di dalam hutan
akan kami temui. Hutan yang cukup rapat dengan jalan setapak. Namun, medan yang
dilalui kali ini jauh lebih sulit, jalannya menurun dan lebih licin. Beberapa
peserta sempat terjatuh dan terperosok ke dalam kubangan lumpur. Kami pun
beristirahat sejenak di pinggir sungai. Membersihkan lumpur yang melekat di
sepatu dan celana yang kami gunakan.
Perjalanan
kembali dilanjutkan. Sejam berlalu, aku belum juga mendengar suara ombak dengan
jelas. Hanya substrat tanah yang mulai berubah menjadi pasirlah satu-satunya
penyemangat. Mungkin sebentar lagi kami akan bertemu pantai. Ternyata benar, pantai
sudah di depan mata. Aku melihat sebuah sungai besar dengan hutan mangrove yang
memenuhi kanan kiri badan sungai. Sekitar 15 menit kemudian, kami bertemu
dengan pantai.
“Wah!”
itulah satu-satunya kata yang keluar dari mulut masing-masing peserta. Inilah
pantai terindah yang pernah aku temui. Ditambah lagi perjuangan yang sulit
untuk mencapai.
Sebelah
kanan pasir putih terhampar luas berkilo-kilometer jauhnya. Dilanjutkan dengan
hutan pasir yang berada 100 meter dari bibir pantai. Ombak bergerak silih
berganti dengan suara yang bergemuruh. Bagian kiri terdapat karang besar
berwarna hitam yang menjadi batas dari pantai ini. Di balik karang, hamparan
semak belukar menutupi jalan masuk menuju hutan. Ya, itulah sedikit gambaran
keadaan Pantai Citerem di Suaka Margasatwa Cikepuh, tempat yang menjadi base camp kami selama sembilan hari ke depan
di lapang.
Kali
ini, kami harus menyeberangi sungai dengan kedalaman sekitar selutut untuk
menuju camp. Celanaku yang dipenuhi
lumpur membuat sungai yang jernih berubah kecoklatan. Selanjutnya, kami
melewati pantai dan kembali memasuki hutan, jalan berpasir dengan pohon khas
hutan pantai di sepanjang jalan. Sekitar 10 meter dari pantai, terdapat sebuah rumah
berukuran 5 m x 4 m dengan gazebo kecil di bagian depan dan dapur yang terbuka di
bagian belakang. Di dekat dapur, terdapat jejeran bambu yang membentuk sebuah
pagar dengan tinggi 2 m. Bagaimana dengan kamar mandi? Kamar mandi berjarak 5 m
dari camp dan berada di dekat sungai.
***
20 Januari 2015
Tidak banyak hal yang dapat kami
lakukan pada hari pertama. Hanya bersih-bersih, masak, pengarahan, dan
istirahat. Hari itu juga pengamatan belum dimulai. Kami harus survei lokasi
terlebih dahulu bersama pemandu. Tidak semua anggota mengikuti survei ini, dua
orang dari tiap kelompok tetap tinggal di camp
untuk menyiapkan sarapan pagi ini. Di kelompokku, ada seniorku, Mae, dan aku
yang bertugas menyiapkan sarapan.
Sebenarnya, hampir semua peserta
tingkat tiga (seniorku) tidak ada yang aku kenal. Demikian juga sebaliknya.
Awalnya, kami merasa canggung satu sama lain. Hidup berhari-hari di tempat
entah berantah bersama orang-orang yang belum kita kenal sebelumnya, ternyata
tidak terlalu mudah.
Oh
iya, perlu diketahui tidak mudah bertemu dengan seseorang (masyarakat setempat)
di tempat ini. Hanya satu atau dua orang saja yang datang untuk memancing.
Jarang kami temui sekelompok orang datang ke tempat ini. Jadi ... sepertinya,
kehadiran kami memberikan keberkahan tersendiri bagi nyamuk kebun yang tidak
terbiasa bertemu manusia.
Pagi
ini, kelompok herpetofauna akan melihat pelepasan tukik. Kata Abah, ketua dari
pemandu, pantai di sini memang dijadikan tempat bertelur bagi penyu. Ombak yang
besar dengan tidak adanya penerangan di kawasan ini menjadikan SM Cikepuh
tempat yang tetap untuk bertelur. Telur yang telah diambil di pantai, akan
dipindahkan ke bangunan yang terbuat dari deretan bambu yang membentuk pagar
setinggi 2 m. Setelah selesai memasak, aku langsung menuju bangunan tersebut
untuk melihat tukik.
Di
dalamnya, terdapat lubang-lubang yang berisi telur penyu. Salah satu lubang
terbuka dan terdapat beberapa pecahan kulit telur. Di sampingnya, terdapat
ember besar berisi tukik. Indha dari kelompok fotografi sibuk mengabadikan
momen ini. Tia, Eki, Dennis, dan Bang Irfan dari kelompok herpetofauna
menghitung jumlah tukik yang berhasil metes dan mengukur panjang mereka.
Setelah melakukan pengukuran, sekarang saatnya melepaskan tukik.
Satu
per satu tukik dilepaskan. Hampir seluruh peserta tidak ingin melewatkan kesempatan
ini. Bagiku sendiri, inilah pengalaman pertama melihat dan melepaskan tukik. Aku
mengambil salah satu dari tukik tersebut dan meletakkannya di atas pasir.
“Biasanya
tukik yang berbau amis akan lebih mudah dimangsa,” kata salah satu pemandu
kepada kami.
Melestarikan
penyu bukanlah hal yang mudah. Mereka harus mencari tempat yang tepat untuk bertelur.
Jika penyu melihat ada cahaya di pantai, dia akan kembali dan tidak akan
bertelur. Ketika masih menjadi telur, banyak predator yang siap untuk memangsa.
Entah predator itu adalah satwa ataupun manusia. Setelah menetas, ada saja
tukik yang mati. Tukik yang tidak cukup kuat juga mudah mati saat dilepaskan
nanti. Mereka yang berhasil tumbuh dan mampu berkembang biak pun memiliki
hambatan yang harus dilalui. Terkadang penyu-penyu tersebut terperangkap ke
dalam jaring nelayan, terluka, atau mungkin ditangkap.
Tukik-tukik
yang baru menetas tersebut berjalan menuju laut. Ombak menyambut kedatangan
mereka, menarik satu per satu tukik ke dalam gulungan besar ombak pantai
selatan. Aku masih berdiri di pinggir pantai melihat tukik terakhir tertelan ke
dalam ombak. Ada perasaan bahagia dan haru melihat momen ini.
Sampai jumpa tukik,
kembalilah untuk bertelur dikemudian hari, kataku dalam hati.
***
22
Januari 2015
Sudah empat hari kami berada di camp. Setidaknya sudah tiga lokasi
pengamatan yang telah kami datangi. Di kelompok pengamatan burung sendiri,
lokasi yang sudah didatangi, yaitu hutan reparian, semak belukar, dan hutan
pantai. Beberapa burung yang sering ditemui, seperti merbah cerukcuk, paok
pancawarna, dan wiwik lurik. Umumnya, burung akan lebih sering terlihat pada
hutan terbuka, sedangkan pada hutan tertutup, hanya suaranyalah yang dapat
terdengar.
Sore ini, pengamatan dilakukan di
hutan tertutup lalu dilanjutkan ke semak belukar dan diakhiri dengan hutan
pantai. Kami berangkat pukul 15.00 dengan berbagai bekal makanan dan minuman. Perjalanan
kali ini memang cukup berat, namun hasil yang didapatkan cukup memuaskan. Beberapa
jenis burung baru termasuk sarang salah burung dapat kami temui di hutan. Pada
semak belukar, banyak burung yang terbang silih berganti dan berkicau dengan saling
bersautan.
“Kalau kita buat menara di tempat
ini, keren banget pasti! Banyak burung yang dapat dilihat,” komentar dari
senior membuatku berpikir sejenak. Tentu menyenangkan melakukan bird watching dari atas menara.
Sayangnya, kesunyian tempat ini akan hilang jika dilakukan pembangunan seperti
itu.
Satu setengah jam sudah kami
berjalan. Suara ombak terdengar keras. Hutan pantai telah terlihat di sepanjang
jalan. Perlahan hutan mulai terbuka berganti dengan pasir putih. Antara laut dengan
pantai dibatasi oleh karang hitam selebar 10 m. Air laut setinggi mata kaki,
menutupi karang tersebut. Sepanjang bibir pantai, karang inilah yang memecahkan
ombak hingga tidak mampu menyentuh pantai. Kali ini bukan Pantai Citerem yang
berada di depan mata, melainkan pantai Ombak Tujuh. Disebut demikian karena ombak
yang datang akan berkejar-kejaran sebanyak tujuh kali. Bila diperhatikan,
gulungan ombak di tempat ini terlihat berwarna vanilla blue.
Matahari mulai terbenam saatnya
menyudahi perjalanan hari ini dan kembali ke camp. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan dengan pemandangan yang
luar biasa. Beberapa burung laut mencari makan di karang. Begitu pula dengan
nelayan yang masih sibuk memancing di pinggir pantai. Langit mulai kemerahan
menjadikan berbagai objek yang tertangkap di kamera terlihat bagaikan siluet. Sebuah
lukisan alam yang tercipta oleh Dia Sang Maha Pencipta.
Alam
memberikan berbagai keindahan yang ditawarkannya. Membuat kita kagum sekaligus
takut tidak mampu menjaganya. Adakalanya aku berharap tempat ini tetap sepi seperti
saat ini, biarkan hutan, pantai, laut, dan satwa hidup damai antara satu dengan
yang lainnya. Menjadikan SM Cikepuh sebagai surga yang tersembunyi di ujung
selatan Sukabumi.
Malam
menjelang, jam sudah menunjukkan pukul 21.00. Istirahat menjadi pilihan yang
tepat untuk memulihkan tenaga setelah seharian menyusuri lokasi pengamatan.
Namun, ada pilihan lain yang lebih menarik. Pada bulan ini, banyak penyu yang
datang ke pantai untuk bertelur. Seperti semalam, seekor penyu berdiameter
setengah meter bertelur tepat di pantai depan camp kami. Malam ini aku bertekad untuk bisa melihat penyu
bertelur. Ini merupakan sebuah kesempatan langka yang tidak boleh terlewatkan.
Tidak
boleh ada cahaya sama sekali. Kami hanya memegang headlamp untuk berjaga sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak
diinginkan. Pantai gelap gulita tanpa ada penerengan sama sekali. Deburan ombak
terdengar begitu keras. Berkali-kali aku menghitung kelompok kami yang
berjumlah delapan orang, aku, empat sahabatku, dua orang senior, dan seorang
pemandu. Takut-takut ada anggota yang menghilang atau mungkin bertambah.
Setelah hampir 200 m berjalan, akhirnya kami menemukan seekor penyu yang
bertelur.
“Paling
ini umurnya 70 tahun.” kata Abah sambil menunjuk ke penyu yang berdiameter
sekitar 1 m tersebut.
Waktu
yang cukup panjang untuk menjalani sebuah kehidupan. Mungkin sudah beberapa
kali penyu ini datang ke Cikepuh untuk bertelur. Berjuang melewati ombak yang
besar demi mencapai tujuannya untuk berkembang biak. Sebuah upaya mempertahankan
jenisnya agar tidak punah.
Kami
duduk di pinggir pantai, menunggu si penyu selesai bertelur dan melihatnya
kembali ke laut. Abah bercerita banyak hal mengenai tempat kerja ini. Menjaga
kawasan konservasi dengan potensi alam yang luar biasa bukanlah hal yang mudah.
Ada saja predator yang datang, mengambil telur penyu, menangkap satwa lain, dan
merusak alam. Predator tersebut bernama manusia. Alam memang memiliki kemampuan
untuk memperbaiki dirinya bila terjadi gangguan. Namun, alam memiliki batas
untuk bertahan dari gangguan tersebut. Ketika terjadi gangguan, ada saja satwa
yang dirugikan bahkan terancam punah.
“Penyunya
udah selesai bertelur!” teriak salah seorang seniorku.
Perlahan
penyu tersebut mulai berputar ke arah laut. Terlihat menangis, tapi bukan sedih
alasannya. Meninggalkan telurnya di pantai SM Cikepuh dan mempercayakan
anak-anaknya mampu berjuang hingga tumbuh besar nanti. Sekali lagi, aku melihat
kepergiaan satwa langka ini. Kalau sebelumnya aku melihat penyu muda yang
memulai perjalanannya, kali ini aku melihat penyu dewasa yang memberi
kesempatan pada penyu muda untuk tumbuh dan memulai perjalanannya sendiri.
Selamat jalan!
Perjalanan hidup selama 70 tahun bukanlah hal mudah. Terima kasih telah
bertahan hingga saat ini. Kembali ke sini dan pastikan dirimu tetap ada hingga
bertahun-tahun kelak.
***
23 Mei 2015
“Hei, bengong aja. Ayo balik ke resort!”
“Oh, iya.” Jawabku pelan. Hari-hari
di SM Cikepuh merupakan hari-hari yang tidak terlupakan. Banyak pengalaman baru
dan sahabat baru yang aku temukan.
“Dipiki-pikir setelah anak-anak ikut
Raffles kemarin, kita jadi pada lebih deket ya.” kataku tersenyum tipis.
“Iya,
sih, mungkin karena udah tinggal di lapang dan lebih banyak berkomunikasi
dengan mereka daripada dengan HP, hahaha...”
Alam
tidak hanya menyajikan keindahannya tapi juga memberikan pelajaran. Tentu menyenangkan
melakukan perjalanan bersama sahabat terdekat. Melihat keindahan alam dengan
dia yang menjadi teman hidup kita selama ini. Namun, sejatinya hal terpenting
dari sebuah perjalanan adalah tujuan dari perjalanan itu sendiri. Melakukan
perjalanan dengan “siapa” bukanlah
masalah. Proses untuk mengenal teman perjalanan kitalah yang terpenting.
Seorang teman yang mungkin belum kita temui sebelumnya bisa saja menjadi teman
yang tepat untuk menemani perjalanan kita selanjutnya.
Tiap
dari kita tentu memiliki perjalanan luar biasanya masing-masing. Perjalanan ke
SM Cikepuh merupakan perjalanan terluar biasa selama 20 tahun kehidupanku.
***
*Cerita ini sendiri terinspirasi dari pengalaman saya sendiri ketika melakukan ekspedisi ke Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi pada bulan Januari lalu.
Komentar