Ayah dan Semesta: Happily Ever After


Ada satu cerita yang rasanya ‘nyes’ banget, antara sedih sekaligus damai. Kamis pagi itu, ada seorang tetangga yang datang dan mengajak Ibu ngobrol. Aku juga ada di sana kok, Yah. Hingga sampai pada suatu percakapan seperti ini.

“Ayah suka ke pemandian air panas. Mau ke sana lagi, eh, sampai meninggal gak keturutan.” kata Ibu dengan nada sedih.
“Yaudah, gak apa-apa, Bu. Di surga nanti ada yang lebih indah dari itu.” kataku menanggapi.

Sebenarnya aku juga gak sadar akan bicara seperti itu. Barangkali Allah sedang mengingatkan ku melalui lisan ku sendiri ya, Yah. 

Benar, sih. InsyaAllah di akhirat kelak kita akan lebih bahagia dari pada di dunia. Kalau kumpul bersama keluarga dan jalan-jalan dengan mereka aja sudah buat aku bahagia, di akhirat nanti pasti lebih bahagia dari itu kan? Berkumpul dengan orang yang kita cintai.

Orientasi hidup kita yang sesungguhnya kan akhirat. Jangan apa-apa orientasinya dunia. Merasa sedih ditinggal Ayah yang sebenarnya cuma berjalan selangkah lebih maju menuju akhirat. Lagi pula sedih berkelanjutan tidak menghasilkan apa pun selain ratapan.

That’s why, aku memilih untuk berhenti sedih. Berhenti nangis untuk hal yang remeh temeh. Berhenti trauma dengan setiap perkara yang berkaitan dengan Ayah, termasuk laptop pemberian Ayah. Makanya awal-awal rada sulit kembali ngedesain dan menulis, termasuk nulis skripsi hehehe.

Tapi, Yah, InsyaAllah pikiran-pikiran semacam itu akan diubah. Pokoknya sekarang saatnya fokus untuk bisa memberi kebermanfaatan secara luas setiap pemberian dan peninggalan Ayah. Entah bentuknya fisik (barang) maupun petuah.

Komentar

Sering Dibaca

Wreck It Ralph: It's about how much you believe in your self

Senin, 10 Februari 2013

my first entri \^~^/