Review: Sunnah Sedirham Surga

sumber: goodread.com

Pertama kali melihat buku ini, saya menerka-nerka akan seperti apa isinya. Oh, barangkali isinya deretan sunnah yang bisa membawa kita ke surga. Disertai motivasi agar mau mengamalkan sunnah-sunnah tersebut. Kemudian seorang teman berkata, “tidak, bukan begitu gaya Salim A. Fillah. Pasti di dalamnya lebih banyak kisah.”

Benar memang ini buku karya Salim A. Fillah yang pertama kali saya baca sehingga tidak tau betul gaya menulis beliau. Entah karena covernya yang menarik atau judulnya yang menggiurkan, akhirnya saya membeli buku ini. Tentu dengan ekspektasi yang saya katakana tadi. Sebagai pembaca awam –untuk buku Salim A. Fillah, saya sempat sedikit bingung dan harus mambacanya pelan-pelan supaya paham.

Anehnya, ketika saya mulai terbiasa dengan gaya menulis beliau, buku ini terasa enak sekali ‘dilahap’. Seperti kata teman saya, lebih banyak kisah yang disampaikan sedang pembaca akan dipersilakan memahami maksud dan pelajarin dari kisah tersebut. Beribrah pada kekisah, berteladan pada para pemegang warisan. Begitu potongan kalimat pada buku ini, beribrah pada kekisah.

Ada empat bagian di buku ini. Setiap bagian terdiri dari banyak kisah para pemegang warisan ‘Anbiya, para ulama dan zuama. Pada setiap kisah, akan ada satu foto yang dipajang. Kalau kata saya, ini mirip Instagram. Sebuah foto dengan caption panjang tapi menarik. Sungguh, saya sangat suka buku ini. Mungkin juga karena cocok dengan saya yang mencintai bacaan ringan tapi mampu menampar diri.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu kisah favorit saya di buku ini. Rasanya jika boleh ingin saya kutip seluruh isi bukunya. hehehe

***

Tuli-Menuli

Suatu hari seorang wanita paruh baya datang ke majelis Hatim Al-Asham, mahaguru dan penasihat tulus dari abad ketiga hijriyah. Ketika ingin menanyakan sesuatu, tiba-tiba si ibu kentut dengan suara yang keras. Wajahnya memerah dan menunduk dalam-dalam.

Sambil menahan malu, ia memberanikan diri bertanya. Kemudian Imam Hatim berseru keras padanya, “apa yang kamu katakana? Aku kurang dengar. Coba ulangi dan keraskan suaramu, ya!”
Mendengar itu, ibu tadi merasa lega karena mengira Hatim tuli sehingga tidak mendengar kentutnya.
Kalimat, “coba keraskan suaramu!” menjadi kebiasaan Imam Hatim selama 15 tahun. Ya, beliau menunggu sampai wanita tersebut wafat barulah kembali menunjukkan bahwa pendengaran beliau sebenarnya masih normal.

Selama ini beliau berpura-pura tuli untuk menutup aib dan menjaga perasaan si ibu. Tapi terlanjur sudah, beliau digelari Al-Asham si tuli. Dan beliau ridha atas itu.

***

Lalu, bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan diri saya? Seberapa sering menyegajakan membuka aib orang yang malah membuat mereka semakin malu…

Komentar

Sering Dibaca

Wreck It Ralph: It's about how much you believe in your self

Senin, 10 Februari 2013

my first entri \^~^/