My Seven Oceans
“Gak takut loncat, tapi takut tenggelem.”
“Bisa berenang kan?”
“Engga.”
Pernah dulu pas masih sekolah belajar berenang. Sok tau aja berenang
di kolam 2 meter. Karena belum pandai berenang, panik, dan akunya pendek, akhirnya
merasakan yang namanya tenggelam. Setelah itu, jadi takut dengan air luas dan
dalam. Masih suka berenang atau main air sih, asal dasarnya bisa diraba kaki
aja.
Danau dan laut pun menjadi ketakutanku sejak lama. Makanya,
kurang suka main ke pantai dengan alasan takut laut. Lucunya ke lapang pertama
kali malah ke pulau. Naik kapal, nyusurin pantai, dan nyebur untuk kelilingin
pulau. Makin parah saat harus loncat dari jembatan, gak terlalu dalem airnya tapi
tetap khawatir.
Makin lucu, semua kejadian singkat dua hari satu malam itu
membuat aku jatuh cinta dengan laut. Suka naik kapal nelayan sambil menyentuh
air, suka pulau beserta pantainya, suka bau pasir. Setelahnya, cinta itu pun semakin
bertambah. Beberapa berkesempatan bertemu pantai, membuatku sadar betapa
nyamannya duduk berlama-lama sekedar menatap laut.
Bahkan aku sangat ingin loncat dari jembatan yang cukup
tinggi menuju air laut yang entah semana kedalamannya. Bukan untuk pembuktian
atau apapun. Ingin rasanya menyelam lebih dalam. Benar memang aku masih
memiliki ketakutan lantaran tidak mampu berenang, tapi takut hanyalah secuil
perasaan di awal. Ia akan hilang lepas setelahnya.
Kamu tau? Kejadian ini bukan hanya terjadi sekali. Tentang aku
dan ketakutan yang berubah menjadi cinta kepada laut. Ini juga terjadi pada
kita. Ada waktu di mana aku takut bertemu dengan mu. Bukan seperti trauma ku
pada laut, tapi lebih kepada sulitnya aku dekat dengan orang lain. Kesulitanku yang
butuh waktu lama untuk beradabtasi.
Kamu mirip laut. Dulu aku hanya melihat di permukaan. Damai tentram
dengan ombak sesekali besar dan mengecil. Suatu ketika aku menjadi cukup pemberani
untuk merasakan langsung dentuman ombakmu. Mengenalmu lebih dari sebelumnya.
Semakin memberanikan diri berjalan menjauhi daratan. Hingga kakiku
tidak lagi mampu menyentuh butiran pasir. Ingat? Aku tidak bisa berenang. Maka izinkan
aku menggunakan pelampung. Sekarang aku bisa melihatmu lebih dari sebelumnya. Ternyata
indah ya? Indah sekali hingga membuatku tahan berlama-lama. Sayangnya tidak ada
yang selamanya di dunia fana ini.
Barangkali aku masih begitu awal mengatakan sudah
mengenalmu. Lihatlah saat ini aku masih memakai pelampung, berarti masih cetek
sekali aku mengenalmu. Sedangkan kamu adalah laut. Oh bukan, kamu lebih mirip samudera,
luas nan dalam. Andai aku lebih berani dan kuat berenang hingga dasar, pasti
akan aku lakukan. Bukan, bukan untuk pembuktian atau apapun. Tidak lain karena
aku cinta pada mu.
Hai, Tujuh Samudera. Maaf karena aku terlalu pengecut dalam
menyampaikan rasa. Tidakkah kau tau? Betapa ingin aku berkata jangan pergi. Betapa
ingin aku terus bersama seperti dulu. Betapa ingin aku mengenalmu lebih dalam. Sayangnya
aku cengeng, makanya tidak bisa berkata-kata dengan benar dihadapanmu. Bahkan menulis
pun juga tidak benar.
Teruntuk sahabat sampai surgaku, apa yang harus aku lakukan
pada hati yang ingin terus bersamamu?
Kesempatan ini takkan
bisa dibeli
Bersamamu ku habiskan
waktu
Senang bisa mengenal
dirimu
Rasanya semua begitu
sempurna
Sayang untuk
mengakhirinya
Janganlah berhenti
Tetaplah seperti ini
(Ipang – Sahabat
Kecil)
Komentar