Kapan Hayo Kamu Ikhlas?
Kita tidak tahu kapan kita bisa benar-benar ikhlas. Bisa saat
itu juga, meski rada gak mungkin. Bisa besok atau bahkan bertahun-tahun
kemudian. Bahkan, kadang kita gak sadar bahwa sudah ikhlas.
Jadi, apa indikasi ikhlas itu?
Ada yang bilang, saat kita sudah lupa berarti kita sudah ikhlas. Tapi barangkali itu untuk perkara sodakah. Kita tidak ingat pernah
melakukannya atau tidak pernah mengungkit-ungkitnya dalam hati. Bagaimana dengan
kejadian? Bagaimana dengan cobaan? Sepertinya kejadian sulit akan sulit pula dilupakan. Atau,
apa ketika kita sudah merasa biasa-biasa saja merupakan takaran keikhlasan?
Beberapa bulan lalu saya sempat berdoa supaya bisa ikhlas. Barangkali
rentetan penyesalan akademik membuat saya sering mengutuk diri. “Ya Allah, mau
ikhlasin semua itu.” Eh, saya malah diberikan hal lain yang menjadi PR besar untuk
belajar ikhlas.
Bulan Mei adalah waktu yang berat. Saya mengira-ngira akan
ada 2 bentuk perpisahan bulan itu, ternyata ada 3. Perpisahan rumah dengan teman
kontrakan, kemudian perpisahan jarak dengan Zian yang mau pindah, dan
perpisahan (sementara) yang tidak terduga dengan Ayah. I call that moment as
the craziest thing I’ve ever felt.
Katanya, kewarasan harus dijaga. Saat dibilang begitu, saya
malah bertanya-tanya. Apakah kewarasan itu masih terjaga? Aneh aja, yang biasa
ada jadi gak ada. Biasanya bawelin
ini itu jadi rada sepi. Kadang rasanya Ayah hanya lagi keluar rumah dan belum
pulang. Pas yakinin diri kalau Ayah udah meninggalkan dunia, langsung netesin
air mata atau bengong tanpa kejelasan. Di situlah saya mulai berkontemplasi (ceritanya
di tulisan ini).
Saya pikir sudah waktunya hati ini diajak damai. Berhenti bergemuruh
dan menuruti syaitan untuk terus-terusan sedih. Ayah pasti juga tidak mau
anaknya begini. Kalau begini, berarti dia gagal mempersiapkan anaknya untuk
kepergian dirinya.
Hati akhirnya bisa berdamai. Sedih itu hal biasa. Ingat dengan
Ayah malah jadi pengingat supaya mengirim doa. Ternyata ada kejadian lain
setelah saya mulai berdamai. Allah mau mengajarkan hamba-Nya buat bersabar
lagi.
Selepas 40 hari menginggalnya Ayah, kaki Ibu kena luka di
bagian jari kirinya. Keluarga tidak ada yang sadar, pun dengan Ibu. Sakit gulanya
membuat rasa sakit pada kaki gak berasa.
Kalau kata Ibu, kakinya udah baal
alias tidak bisa merasakan apa-apa tapi masih bisa berjalan.
Lukanya makin parah setelah pulang dari Malang. Keesokan
harinya, Ibu menggigil dan dibawa ke IGD. Singkat cerita, Ibu harus keluar
masuk rumah sakit (RS) untuk mendapatkan perawatan terbaik. Setelah RS pertama,
kondisi kaki ibu baikan tapi Ibu lemes banget. Lanjut ke RS kedua supaya ketemu
dokter bedah. Rawat inap di sana dua minggu. Ibu segeran tapi kakinya… parah. Akhirnya
kami minta Ibu dipindah. Wah, drama pokoknya. Kesel, marah, nangis, semua
ditumpahin ke RS kedua ini. Keluarga merasa tidak puas dengan pelayanan di
sana.
RS nasional jadi pilihan terakhir kami. Alhamdulillah,
perawatan di sini lebih baik. Tidak perlu dibandingkan, namanya juga RS
nasional harusnya memang jauh lebih baik. Pasien di kamar Ibu banyak yang dari
luar Jakarta bahkan luar Jawa. I really love this hospital. Mereka menempatkan
Ibu di kamar yang tepat. Kamar yang selantai isinya pasien yang akan dibedah
semua.
Ada momen menarik. Hari dan jam ketika Ibu dioperasi bertepatan
dengan seminar saya, Kamis (23/08/18) pukul 09.00 WIB. Seminar, momen yang
paling saya tunggu setahun ini. Rasanya… tidak karuan. Buat PPT tidak maksimal,
makalah pun demikian. Saat itu hanya ingin semua segera selesai. Pulang ke
Jakarta dan ke RS.
Saya bertemu Ibu di balik kaca ICU. Ibu ditempatkan di sana
karena begitu prosedurnya. Pasien yang baru operasi akan ditempatkan di ICU
sebelum kembali ke kamar rawat. Gimana pas liat Ibu? Heartbreaking. Kaki kiri Ibu diamputasi hingga betis. Gila sih
rasanya. Saya nangis gak beres-beres.
Hapus air mata, senyum ke Ibu buat dadah-dadah. Duduk lagi, nangis lagi. Begitu
aja. Sampai akhirnya ada petugas yang manggil.
“Keluarga Ibu Sumarni? Masuk ya, suapin Ibunya.”
Saya benerin muka yang mulai sembab. Jangan nangis, jangan
nangis. Beneran gak nangis lagi, senyam senyum malah. Saya pikir ini kado
seminar terbaik. Boleh masuk ruangan ICU buat ketemu Ibu secara langsung. Alhamdulillah
J
Masalah berentet ini gak
ada apa-apanya sama masalah orang di luar sana. Ada yang lebih parah bahkan
sampai sebatang kara. Saya? Allah masih mengirimkan banyak orang baik. Mulai dari
kakak, saudara, tetangga, dosen yang baik, dan teman. Kurang apa coba? Saat seminar,
teman-teman saya yang urus snack-nya. Sidang pun mereka bantu. Untuk jagain Ibu
bisa gantian dengan kakak-kakak. Waktu operasi saudara pada datang. Tetangga juga
super-duper baik. Jadi masih gak
bersyukur? Malu atuh.
Selama 4 bulan ini, banyak pelajaran yang Allah berikan pada
saya. Gak paham lagi, saya yang
begini aja Allah masih sangat baik. Malu masih gini-gini aja ibadahnya. Bahkan dengan
segala hal yang terjadi, kadang saya masih mendahulukan dunia dari pada Sang
Penciptanya.
Sadar sih, saya masih jauh dari kata baik tapi izinkan berbagi
sedikit tentang pelajaran yang didapat. Meninggalnya Ayah mengingatkan bahwa
kita tidak selamanya di dunia. One day, kita akan merasakan kematian dan
melanjutkan perjalanan. Hey! Jangan lupa ujungnya hidup ini adalah akhirat. Jangan
mau menukar akhirat dengan dunia. Dunia dan isinya tuh setara solat sunnah sebelum
Subuh. Kalau kita menunaikan itu, udah jadi manusia terkaya. Iya kan? Terus jangan
lupa bersyukur kalau dikasih musibah/cobaan/masalah. It means Allah tau kamu
bisa melaluinya. It means Allah masih perhatian sama kamu. Jangan sampai Allah
berpaling dari kita. Mau melakukan maksiat kaya gimana pun gak ditegur Allah? Innalillahi. Itu baru namanya bahaya.
Sekian curhatan saya atau lebih tepatnya lampias hidup.
Komentar